Gloria ‘Paskibraka’ Gugat Aturan Kewarganegaraan Anak Hasil Kawin Campur ke MK




Berita Metropolitan – Ira Hartini Natapradja Hamel yang merupakan ibu dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2016 Gloria Natapradja mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan).




Diwakili oleh Fahmi Bachmid selaku kuasa hukum, pemohon mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan norma Pasal 41 UU Kewarganegaraan.


Dikutip Berita Metropolitan dari laman MK, Pemohon menilai anaknya yang merupakan hasil perkawinan campuran antara dirinya dengan pria berkewarganegaraan lain, mendapat diskriminasi akibat berlakunya ketentuan tersebut.


“Akibat hilangnya atau dipersoalkan status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak Pemohon, menimbulkan kerugian langsung bagi diri Pemohon dan atau anak Pemohon yang belum dewasa karena mengakibatkan tidak bisa menjadi anggota PASKIBRAKA pada Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih tanggal 17 Agustus 2016,” ujar Bachmid dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut, Rabu (5/10/2016).


Menurut Pemohon, Pasal 41 UU Kewarganegaraan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (4) UUD 1945 karena kewajiban untuk mendaftarkan diri bagi anak yang belum berusia 18 tahun hasil perkawinan campuran yang ditakdirkan lahir dan besar di Indonesia dibebankan kepada keluarga Pemohon yang harus secara aktif mendaftarkan ke Pejabat yang berwenang.


Padahal, lanjut Bachmid, dari bunyi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 justru melimpahkan kewajiban dalam penyelengaraan hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang, termasuk hak atas status kewarganegaraan, kepada negara.


Pasal 41 UU Kewarganegaraan dinilai menimbulkan kerumitan administrasi pada Pemohon yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang seharusnya negara menunaikan kewajiban untuk memberi kemudahan kepada setiap orang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.


Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Wahiduddin Adams tersebut memberikan saran perbaikan. Palguna menyarankan agar pemohon fokus pada dalil permohonannya mengenai adanya diskriminasi.


“Misalnya Anda ini anggap diskriminasi, ya itu sudah ada sebagian ya, sudah ini, tapi fokuskan ke sana, jadi jangan loncat ini kemudian loncat belum lagi ke tempat yang lain,” Ia memberi saran.


“Nah kemudian itu. Nah, terakhir baru kemudian dirangkum dalam kesimpulan. Dengan begitu maka ini bertentangan dengan pasal ini, pasal ini, kan gitu enak, sehingga nanti ketika mohon di petitum, jelas sudah jadi permohonannya begitu,” tutupnya.



Comments





Tidak ada komentar:

Posting Komentar